KECANDUAN BELANJA (SHOPAHOLICS)



Normalnya, belanja adalah kegiatan rutin yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Sebagian orang merasakan belanja sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi jeda di antara kesibukan. Namun apabila seseorang mengeluarkan uang secara berulang-ulang untuk berbelanja tanpa mengindahkan kebutuhan ataupun keadaan finansialnya sehingga mendatangkan pengaruh negatif, hal tersebut tergolong pada gangguan kesehatan mental.

Peneliti di bidang medis percaya bahwa otak manusia mengasosiasikan belanja dengan perasaan seperti melayang, serupa dengan yang dirasakan mereka yang mengonsumsi obat-obatan terlarang. Itu sebabnya mereka merasakan dorongan untuk belanja lagi dan lagi. Rasa gembira ketika berbelanja ini muncul karena terpicunya hormon endorphin dan dopamin yang dapat membuat seseorang merasa gembira.

Kecanduan belanja juga dapat disebut sebagai Compulsive Buying Disorder (CBD) atau gangguan belanja kompulsif, disebut juga dengan shopoholisme atau yang lebih terkenal dengan istilah shopaholics.
Jadi shopaholic merupakan suatu suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketergantungan atau addicted untuk berbelanja (compulsive buying disorder), yang dilakukan secara sadar atau tidak.

CBD sendiri didefinisikan sebagai hasrat yang tidak tertahankan untuk membeli barang secara berlebihan dengan jumlah pengeluaran besar dan menyita waktu yang pada akhirnya hanya mendatangkan pengaruh negatif di dalam hal keuangan dan keluarga. Berdasarkan gejalanya, gangguan ini bahkan mungkin dikategorikan sebagai gangguan bipolar, gangguan obsesif-kompulsif, kecanduan klinis, atau gangguan kontrol atas dorongan.

Seseorang dengan shopaholic benar-benar menikmati kegiatan shoping/belanja. Mereka rela menghabiskan uang dan waktunya hanya untuk berbelanja berbagai kebutuhan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Seseorang dengan shopaholic juga memiliki kepuasaan tersendiri terhadap kegiatan berbelanja. Mereka akan merasa puas setelah berbelanja, dan sebaliknya akan merasa sangat sedih dan gelisah jika keinginannya untuk berbelanja tidak terpenuhi.


Sama seperti pecandu di bidang lain, para pecandu belanja dapat berusaha menyembunyikan masalah mereka. Beberapa penggila belanja berusaha memberi kesan bahwa mereka punya uang yang tidak terbatas dan kaya raya, padahal kenyataannya, utang mereka menumpuk.  
Orang yang mengalami gangguan ini umumnya kurang dapat memahami perasaannya sendiri dan kurang dapat mengelola perasaan buruk.
Pada beberapa kasus, pemicu kecanduan belanja bersumber dari depresi, gangguan kesehatan mental, ataupun masalah emosional. Kecanduan belanja ini juga dapat berakar dari pengalaman di masa kecil. Misalnya anak yang tidak mendapat perhatian cukup dari orang tuanya bisa jadi akan merasa tidak percaya diri karena merasa sebagai orang yang tidak penting. Akibatnya, mereka akan tumbuh dewasa dengan membeli benda-benda yang diharapkan dapat membuat mereka tidak lagi merasa sendiri.

Sebuah penelitian terbaru dari San Francisco State University menujukkan bahwa perilaku shopaholic terkait dengan adanya gangguan pada psikologis seseorang. 
Seseorang dengan shopaholic memiliki sebuah gangguan obsesif-kompulsif dimana gangguan ini ditandai dengan munculnya pikiran obsesif (pikiran yang berulang yang tidak dapat dikendalikan dan selalu menghantui) sehingga menimbulkan perilaku compulsif (berulang) untuk menghilangkan pikiran obsesif yang terjadi.

Selain itu, shopaholic juga bisa terjadi disebabkan karena berbagai hal lain seperti:
  • Memiliki self image yang rendah atau rasa rendah diri yang dilampiaskan dengan berbelanja (shopaholic) untuk meningkatkan harga diri, rasa percaya diri serta reputasi mereka dihadapan orang lain ( Bagaimana citra diri anda ? )
  • Penganut gaya hidup hedonis atau matrealistis yang cenderung mempersepsi orang lain dari apa yang mereka miliki (mobil, rumah, jabatan, dll) sehingga merasa terus kekurangan dan melakukan belanja (shopaholic) sebagai salah satu cara melampiaskan kekurangan yang dirasakan
  • Akibat traumatik yang mendalam di masa lalu
  • Sebagai pelampiasan akibat perubahan suasana hati atau stres
Saat mereka tidak sedang berbelanja, , sekitar satu per tiga masyarakat asia timur yang disurvei mengaku merasa kosong, bosan dan hilang arah. Selain itu, sekitar setengah dari mereka merasa bersalah karena kebiasaan berbelanja tersebut, kadang mereka menyembunyikan barang yang mereka beli dari orang lain karena takut terhadap reaksi negatif atau tuduhan menghamburkan uang. 

Berbelanja tidak membuat kita bahagia. Kita sudah punya terlalu banyak dan kita tahu itu.

Jadi kenapa kita berbelanja? Kita sedang mencari kegembiraan, berusaha meningkatkan nilai pribadi, percaya diri dan pengakuan. 
Aktivis media dan kritikus periklanan Amerika serikat, Jean Kilbourne, mengungkapkan bagaimana begitu dalamnya iklan menyusup dengan mengeksploitasi hasrat mendasar manusia seperti persahabatan, kebahagiaan, dan kesuksesan, untuk mencapai profit. 


Para pecandu belanja merasa bahwa diri mereka perlu berbelanja sepanjang waktu. Belanja dikategorikan sebagai dorongan kompulsif ketika pelakunya tidak dapat mengendalikan tindakannya sendiri dengan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak atau kurang diperlukan.

Berikut beberapa gejala-gejala shopaholics :
  • Belanja untuk meredakan stres. Selain itu, suka berbelanja saat merasa kesepian, marah, atau cemas.
  • Terlihat terobsesi membeli barang tiap minggu atau bahkan tiap hari.
  • Merasa sangat gembira setelah membeli sesuatu.
  • Terus membeli barang-barang yang akhirnya tidak digunakan
  • Terus belanja meski merasa bersalah setelah membeli banyak barang.
  • Terus membeli lebih banyak barang. Misalnya awalnya berkata ingin membeli satu baju, tapi ternyata keluar dari toko membawa lima baju.
Lalu, bagaimana kita bisa menghentikan ini? Penanganan kecanduan belanja dapat dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan dan sumber masalahnya. 

Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk meredakan kecanduan:
  • Terima kenyataan bahwa kamu sedang bermasalah dengan hasrat berbelanja.
  • Tentukan prioritas dalam belanja
  • Hindari berbelanja seorang diri. Minta orang yang dapat diandalkan untuk mengingatkan jika kamu mulai belanja lebih dari yang dibutuhkan.
  • Kerabat, pasangan, ataupun teman dekat perlu membantu mengambil kendali atas pengeluaran dana si Pecandu.
  • Jalani konseling dan terapi agar pecandu dapat belajar mengontrol dorongan dan mengenali pemicu kecanduan belanja.

Survei kami menunjukkan bahwa iklan, promosi dan proses beli dalam satu klik semuanya didesain untuk memicu hasrat membeli. Tingkat pembelian meningkat saat perusahaan mempercepat pengiriman. Karenanya, semakin perlahan proses pembelian semakin rendah hasrat untuk berbelanja. 
Untuk terbebas dari siklus konsumerisme kita harus ‘slow down’.
Kebahagiaan hidup ditentukan oleh hubungan kita dengan sesama dan keterikatan kita dengan alam sekitar. Daripada menjejali diri kita dengan barang, mari kita nikmati kebahagiaan sejati dengan menjalani hidup yang bermakna.

Komentar